Dalam skandal ini, pakar arkeologi terkemuka Jepang, Fujimura Shinichi, tertangkap basah oleh bidikan kamera video ketika sedang memalsukan temuan-temuan artefak prasejarah nenek moyang orang Jepang. Ia kepergok sedang mengubur benda-benda palsu itu di lubang-lubang yang ia gali sendiri. Rekannya, Kagawa Mitsuo, dituduh memalsukan pula, tapi bukan hal yang terkait dengan pemalsuan Fujimura Shinichi. Tuduhan ini membuat Kagawa Mitsuo, profesor emeritus di Universitas Beppu Jepang, melakukan bunuh diri sebagai protes bahwa ia tidak bersalah.
Salah seorang yang pernah ikut dalam penggalian kepurbakalaan bersama dengan sang pemalsu akbar Shinichi Fujimura adalah Shoh Yamada. Shoh Yamada, doktor lulusan Universitas Harvard, adalah pakar zaman neolitikum, yakni zaman batu muda, di kawasan Asia Barat Daya. Dalam tulisannya di terbitan ilmiah Harvard Asia Quarterly, Vol. VI, No. 3, tahun 2002, ia mengulas aneka peristiwa di balik salah satu pemalsuan terbesar di dunia arkeologi itu dengan judul “Politics and Personality: Japan’s Worst Archaeology Scandal” (Politik dan Kepribadian: Perbuatan Memalukan Arkeologi Terburuk Jepang).
Sebelum pemalsuan itu terbongkar, Shinichi Fujimura dijuluki oleh rekan-rekannya sebagai "Sang Tangan Tuhan". Ini lantaran mereka takjub akan keberuntungan hebat Fujimura dalam menemukan keberadaan situs-situs purbakala. Fujimura dulunya adalah direktur senior di Institut Paleolitikum Tohoku. Temuannya berupa benda-benda purbakala yang diperkirakan berasal dari Zaman Batu awal (600.000-120.000 tahun lalu) di reruntuhan Kamitakamori, prefektur Miyagi, di tahun 1994 ditetapkan sebagai situs tertua Jepang.
Spoilerfor pic:
Dipergoki media massa
Sebelum pemalsuannya terbongkar, selama 20 tahun terakhir Fujimura menjadi bintang di dunia ilmu pengetahuan maupun pemberitaan media massa lantaran kepiawaian dan prestasi gemilangnya dalam menemukan benda-benda purbakala yang diyakini berasal dari Zaman Batu Awal dan Pertengahan. Situs Kamitakamori secara khusus menjadi daya tarik seluruh dunia. Ini dikarenakan benda-benda purbakala yang berhasil digali dan ditemukan oleh Fujimura tampak membuktikan sejumlah hal penting. Pertama, bukti itu menyatakan bahwa manusia awal mendiami wilayah tersebut 600.000 tahun lalu. Kedua, manusia awal ini lebih cerdas dibandingkan rekan-rekan sezamannya yang ada di belahan bumi lainnya. Temuan luar biasa ini mendorong seorang pakar arkeologi bertutur bahwa Fujimura tengah “menulis ulang sejarah prasejarah manusia.”
Berdasarkan informasi yang berhasil dikumpulkan, ternyata ada pula ilmuwan yang meragukan temuan-temuan Fujimura. Di antaranya adalah Takeoka Toshiki dari Universitas Perempuan Kyoritsu. Takeoka berpendapat bahwa sejumlah benda-benda temuan Fujimura itu terlalu modern jika dibandingkan dengan benda-benda lain sezaman yang pernah ia teliti di Prancis. Pendapat Takeoka ini mendorong pihak media massa Mainichi Shinbun untuk melakukan penyelidikan.
Mainichi Shinbun awalnya memberangkatkan sejumlah orang untuk mengintai Fujimura di situs penggalian Fudozaka di Hokkaido pada bulan Agustus 2000, di mana mereka menyaksikan sesuatu yang kemungkinan merupakan pemalsuan di pagi hari. Namun kala itu mereka gagal membidik foto-foto kamera yang jelas.
Spoilerfor pic:
Tiga bulan kemudian, tepatnya di Kamitakamori, mereka berhasil merekam video perbuatan memalukan Fujimura yang sedang mengubur secara sengaja perkakas yang terbuat dari batu. Namun pihak Mainichi Shinbun menunda penerbitan berita dan foto skandal itu hingga setelah Fujimura dan rekan-rekannya sesama penggali situs purbakala mengumumkan temuan penting teranyar mereka. Setelah tersebar luas, berita dan foto-foto yang mengabadikan perbuatan buruk Fujimura ini pun menjadi sebab kehancuran nama baik rekan-rekannya.
Spoilerfor pic:
]
Penerbitan berita di bulan November 2000 itu juga menyebabkan pihak berwenang arkeologi Jepang dan masyarakat umum kaget luar biasa. Harian Jepang Mainichi Shimbun memampang gambar-gambar potongan video yang menangkap basah perbuatan memalukan Fujimura. Di gambar itu terlihat sang arkeolog kondang Fujimura dengan cueknya mengubur barang-barang yang dipalsukannya di pagi hari bulan Oktober 2000. Pakar arkeologi Jepang yang dijuluki “Sang Tangan Tuhan” itu kepergok mengubur dengan sengaja perkakas-perkakas batu di situs penggalian Kamitakamori, prefektur Miyagi.
Pemalsuan dua puluh tahun
Pengujian ulang terhadap beberapa situs penggalian tempat Fujimura turut bekerja telah mengungkap barang-barang yang ia palsukan. Sejumlah temuan Fujimura telah dikaji ulang dan menyingkap kerusakan pada bagian permukaan serta sisa-sisa beragam endapan yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa benda-benda temuan Fujimura itu telah dipindahkan dari situs yang berbeda. Mulanya Fujimura hanya mengaku telah melakukan dua kasus pemalsuan yang kepergok. Namun pengakuannya di musim gugur tahun 2001 menegaskan bahwa pemalsuannya telah dilakukan sejak tahun 1980, dengan kata lain selama 20 tahun. Tidak berhenti di sini saja, pemalsuan itu ternyata ia lakukan di 42 situs galian purbakala Zaman Batu Bawah dan Zaman Batu Tengah.
Fujimura memiliki karir panjang sebagai arkeolog dan telah terlibat dalam penggalian di lebih dari 180 situs purbakala. Menurut Shoh Yamada, sebagian besar dari situs-situs penggalian di mana Fujimura terlibat mungkin saja tercemari pula oleh pemalsuan Fujimura itu.
‘Tangan Tuhan’ tergoda Setan
Media massa Jepang bersemangat dalam meliput perkembangan terbaru di bidang arkeologi, atau ilmu tentang kepurbakalaan. Temuan-temuan penting seringkali menjadi judul utama pemberitaan nasional Jepang. Tidak heran jika temuan-temuan Fujimura sebelumnya sangatlah luas diberitakan, dan temuan-temuannya yang lebih penting lagi dicantumkan pula di buku-buku pelajaran sekolah. Namun rujukan-rujukan kepada temuan-temuan Fujimura itu dihapuskan segera setelah pemalsuan tentang artefak prasejarah palsu yang sangat memalukan itu terbongkar.
Pengakuan Fujimura menggegerkan dunia dan dibeberkan berbagai media massa di luar maupun di dalam negeri Jepang. Salah satunya, The Japan Times, 6 November 2000, meliputnya dengan judul “Renowned archaeologist admits to planting finds” (Arkeolog kondang mengaku mengubur temuan-temuan). Dalam perkataannya sendiri, Fujimura, yang dijuluki Sang Tangan Tuhan, mengaku telah dibujuk setan untuk melakukan perbuatan buruk itu:
“Saya tergoda oleh setan. Saya tidak tahu bagaimana saya dapat meminta maaf atas apa yang telah saya perbuat… Saya tidak sabar karena reruntuhan itu tidak menghasilkan temuan sebanyak Reruntuhan Ogasaka di prefektur Saitama”.
Spoilerfor pic:
Demikianlah, Setan telah berhasil menggoda “Sang Tangan Tuhan” itu untuk melakukan pemalsuan artefak-artefak arkeologi Jepang.
Pemalsuan menggemparkan oleh Shinichi Fujimura sebenarnya bisa saja dicegah atau setidaknya dapat diungkap sedari awal, jika saja para arkeolog yang berwenang di Jepang tidak bersikap dogmatis dan berpikiran lebih terbuka. Kekakuan mereka dalam menolak pandangan lain yang berseberangan atas temuan purbakala yang dianggap bukti sejarah nenek moyang bangsa Jepang itu akhirnya justru merugikan Jepang sendiri.
Sebut saja profesor Charles T. Keally, yang bersama rekannya Oda Shizuo pernah mempertanyakan keabsahan ilmiah temuan-temuan Paleolitikum Jepang itu. Keally telah menghabiskan banyak kegiatan akademisnya di Jepang. Ia adalah ilmuwan di bidang Zaman Batu Jepang dan budaya Jomon, yakni masa prasejarah Jepang.
Pada tahun 1986, keduanya menerbitkan tulisan di jurnal ilmiah terkemuka yang mengritik temuan di situs Paleolitikum Muda dan Madya, prefektur Miyagi. Namun yang mereka dapatkan malah cercaan dari arkeolog terkemuka yang mengatakan bahwa pemikiran Keally dan rekannya itu salah dan bahwa kritik itu seharusnya tidak diterbitkan di jurnal ilmiah. Kritik kedua pakar ini pun lantas dilupakan begitu saja.
Namun kebenaran berpihak pada Keally dan rekannya. Empat belas tahun kemudian, pemalsuan Fujimura pun dibongkar media massa ketika ia kepergok sedang mengubur sengaja benda-benda purbakala palsu di dua situs Paleolitikum Muda. Sejak itu, bangunan sejarah Paleolitikum Muda Jepang yang telah disusun sejak 1980 pun hancur berantakan.
Kerugian dunia ilmiah
Menurut jurnal ilmiah Anthropological Science, (Vol. 113, no. 2, 131–139, tahun 2005) setidaknya sejak tahun 1976, atau mungkin lebih awal, Shinichi Fujimura telah memalsukan temuan di kurang lebih 186 tempat galian purbakala di Jepang timur. Fujimura yang dijuluki “Si Tangan Tuhan” itu tidak segan melakukan pemalsuan meskipun penggalian ilmiah tersebut didukung oleh pemerintah daerah setempat dan oleh dua lembaga nirlaba Sekki Bunka Danwakai (Kelompok Penelitian Zaman Batu) dan Tohoku Kyusekki Bunka Kenkyujo (Lembaga Penelitian Paleolitikum Tohoku).
Spoilerfor pic:
Pemalsuan artefak prasejarah masyarakat Jepang ini mendorong Ikatan Arkeologi Jepang menerbitkan laporan akhir hasil penyidikannya setebal 625 halaman. Laporan tersebut membeberkan bahwa tak satu pun benda-benda purbakala temuan Fujimura memiliki nilai ilmiah. Demikian ungkap jurnal Anthropological Science itu dengan judul “For the people, by the people: postwar Japanese archaeology and the Early Paleolithic hoax” (Untuk rakyat, dari rakyat: arkeologi Jepang pasca perang dan pemalsuan zaman batu mula).
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari jurnal Archaeology (Vol. 54 No. 1, Jan./Feb. 2001) terbitan Archaeological Institute of America, Museum Nasional Tokyo telah menyingkirkan lebih dari 20 buah pajangan purbakala hasil temuan Fujimura. Museum-museum lain di Jepang pun melakukan hal serupa.
Akibat tindakan tidak terpujinya, Fujimura dipecat dari Institut Tohoku dan Ikatan Arkeologi Jepang (JAA). Wibawa lembaga Institut Tohoku ambruk. “Tidak ada lagi yang dapat Anda katakan… Dengan pembeberan media massa ini, seluruh hasil kerja kami selama bertahun-tahun hancur lebur”, ujar mantan kepala lembaga itu, Toshiaki Kamata, yang mengundurkan diri pasca terkuaknya skandal buruk tersebut.
Tersingkapnya pemalsuan ini memaksa perombakan buku-buku pelajaran sejarah Jepang. Institut Paleolitikum Tohoku, tempat sebelumnya Fujimura menjabat sebagai deputi direktur, juga dibubarkan.
Waktu, dana dan tenaga terbuang sia-sia
Perbuatan Fujimura memalsukan artefak prasejarah manusia Jepang itu tidak hanya merugikan dunia ilmu pengetahuan. Pemalsuan ini juga telah menghambur-hamburkan uang jutaan dolar dalam pembiayaan kegiatan penggalian situs purbakala, penerbitan ilmiah, pertemuan ilmiah, pameran dan museum, serta kucuran dana penelitian dari pemerintah yang diperuntukkan bagi berbagai ilmuwan dan organisasi.
Berdasarkan temuan Fujimura mengenai situs-situs purbakala yang dianggap penting, para pengusaha dan pemerintah daerah tempat digalinya situs purbakala tersebut juga telah terlanjur menanamkan modal untuk membangun sarana pariwisata dan memproduksi cendera mata. Dunia pariwisata yang telah susah payah dikembangkan pun terkena getah pahit perbuatan Fujimura itu setelah terbukti bahwa benda-benda purbakala yang ditemukan di situs-situs tersebut terbukti palsu.
Selain itu para pakar purbakala, kalangan arkeolog profesional yang telah bekerja bersama Fujimura telah membuang-buang waktu lebih dari 20 tahun secara sia-sia. Bahkan karir dan wibawa mereka ini berkemungkinan tercoreng akibat tingkah laku memalukan Fujimura.
Bukan pemalsuan seorang diri
Sejumlah kalangan mempertanyakan, bagaimana mungkin pemalsuan ini bisa berlangsung selama puluhan tahun tanpa diketahui pihak berwenang. Apakah yang menyebabkan Fujimura berani melakukan perbuatan memalukan itu?
Sebuah dugaan muncul bahwa yang mendorong Fujimura melakukan perbuatan buruknya adalah gangguan kejiwaan yang dialaminya. Jurnal ilmiah kondang, Nature (Vol 445, 18 Jan. 2007, hal. 244-245) menuturkan, pasca terungkapnya pemalsuan itu, Fujimura dirawat di rumah sakit karena gangguan jiwa. Ia dilaporkan menikah lagi, mengubah namanya dan kini hidup tenang di kota kecil dekat pantai Pasifik.
Namun dugaan kelainan jiwa ini ditepis oleh profesor Charles T. Keally. Kesaksian dan pengalamannya sebagai pakar arkeologi di Jepang membantah hal itu. Ia menuliskan:
Skandal-skandal yang melibatkan kalangan kelas atas di segitiga-besi Jepang yang terdiri dari para politikus, pejabat pemerintah dan pengusaha berakar dari sistem tertutup di sana juga, dan dari ketaatan yang dipaksakan dalam kelompok, tatanan hirarkis, dan kerahasiaan. Ini hanyalah sebuah sisi dari penyebab, atau penyebab-penyebab utama yang mendasari skandal teranyar di bidang arkeologi ini.
Banyak perbincangan media massa memusatkan perhatian pada hal-hal tentang Fujimura dan kehidupannya yang mendorongnya menguburkan barang-barang tiruan di situs galian. Ia di bawah tekanan untuk mendapatkan hasil – karena berbagai alasan. Ia menari telanjang di pesta-pesta untuk menghidupkan suasana (Aera Nov. 20, 2000, p. 19). Hal ini untuk mengalihkan perhatian. Saya telah menyaksikan banyak arkeolog memalsukan laporan demi mendapatkan anggaran dana. Dalam video yang saya punya, Fujimura bukanlah satu-satunya yang menari telanjang, dan banyak (namun bukan berarti semua) penontonnya terlihat menikmati pertunjukkan tersebut. Dan banyak sekali peserta konferensi menghabiskan keseluruhan malam dengan mabuk-mabukan – untuk menghidupkan suasana – dan datang di keesokan harinya dalam keadaan teler berat atau masih mabuk. Sebagian bahkan tidak mampu membaca makalah [ilmiah] mereka sendiri. Jika perbuatan Fujimura diartikan ia memiliki semacam gangguan jiwa, maka sejumlah besar arkeolog lain juga demikian. Permasalahan utamanya adalah mengapa dibutuhkan [waktu] sedemikian lama untuk mengenali adanya masalah dalam “tangan tuhannya” dan seluruh masalah lain di situs-situs [purbakala] Paleolitikum Mula dan Madya yang ia kerjakan. Mengapa sedemikian banyak arkeolog terkemuka menerima sama sekali keabsahan barang-barang [temuan] yang memiliki sisi-sisi yang patut dipertanyakan itu?
Apa pun penjelasan terhadap perbuatan Fujimura pada akhirnya nanti, ini hanyalah penjelasan perkiraan. Penyebab utamanya lebih jauh dari sekedar satu orang ini. Fujimura layak mendapatkan celaan atas perbuatannya. Tapi ia juga patut mendapatkan simpati kita, karena ia pada akhirnya adalah hasil dari sebuah sistem yang telah menghasilkan banyak skandal, stres dan bunuh diri. Dan setiap hari, tampaknya, media massa melaporkan bahwa apa yang kita saksikan sebagai skandal, stres dan bunuh diri hanyalah “sebuah ujung puncak dari gunung es”. (Japan’s Early Palaeolithic Fabrication Scandal, Japanese Scandals — This Time It’s Archaeology, –A Preliminary Report –, by Charles T. Keally, November 17, 2000)
Apa yang dituturkan Keally ini mirip dengan yang diakui oleh pakar Jepang, Ken Amaksu, sebagaimana dikutip jurnal Archaeology:
Banyak arkeolog diam-diam mempertanyakan temuan-temuan Fujimura, tapi ia jarang ditantang secara terbuka. Ketua Ikatan Arkeologi Jepang Ken Amaksu mengaku bahwa lingkungan akademis Jepang mungkin telah turut berperan dalam penipuan yang terus-menerus itu. (“God’s Hands” Did the Devil’s Work, Archaeology, vol. 54 no. 1, Jan./Feb. 2001)
Post a Comment